Tanggal 21 Oktober 2019, hari Senin pagi, saya berangkat ke Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan (lebih sering dikenal Badan Bahasa) dengan sukacitanya, karena saya menjadi salah satu peserta terpilih Seminar Kebahasaan dari instansi saya, Universitas Darma Persada. Badan Bahasa terletak di wilayah Rawamangun, Jakarta Timur. Pada awalnya, saya tebersit hanya coba-coba mendaftar, tetapi KEJUTAN~ Pengelaman pertama dalam hidup mengikuti acara yang hebat ini.
Tampilan Muka Acara |
Seminar tersebut bernama “Bincang-Bincang Kebahasaan dalam Perspektif Kebahasaan dan Kesastraan“ dengan tema “Satu Dekade Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 dan Lanskap Kebahasaan Indonesia”. Melihat namanya aja sudah wah banget, cocok dengan saya yang punya minat bahasa-sastra. Ketika sampai di sana, seperti bisa izin terlebih dahulu ke Pak Satpam untuk mengikuti acara ini. Seminar ini berada di Aula Gedung M. Tabrani, Badan Bahasa. Sebelum memasuki aula, mengisi daftar presensi, diberikanlah kupon untuk kudapan, makan siang, dan sertifikat, serta kudapan pertama.
Ketika masuk ruang aula, tercium aroma yang berbeda
daripada biasanya. Kalau Tatami sangat khas dengan aroma kayu, tetapi aula
tersebut entah kenapa yang saya rasakan justru mirip nasi yang baru
ditanak atau roti yang baru matang dari oven. Kebayang kan, betapa segarnya
ruangan itu. Saya memilih tempat duduk keempat dari depan, supaya lebih jelas
melihat dan menyimak narasumbernya. Maklum matanya bermiopi.
Deg-degan makin terasa untuk saya yang ambiver ketika duduk
sendiri dengan samping-depan-belakang orang yang tidak dikenal. Tapi, saya mencoba
santuy dengan kondisi yang kelihatannya banyak dosen, pakar,
ahli, guru, politisi, mahasiswa, dan instansi lainnya. Acara dibuka dengan pembukaan, lalu
sepatah-dua patah kata dari pihak panitia Badan Bahasa. Acara dimulai dengan
pengetukan mikrofon oleh Prof. Gufran Ali Ibrahim, padahal sudah disiapkan gong
di samping beliau, ha-ha-ha.
Pada sesi bincang-bincang pertama dimoderatori oleh Gadis
Bianca Anindhita, salah satu jurnalis dari Metro TV. Kemudian, diisi oleh
narasumber yang luar biasa yaitu Pak Dendy Sugono (Kepala Pusat Bahasa
2001—2009), Bu Popong Otje Djundjunan (Ketua DPR RI 2014—2019), Pak Amzulian
Rifai (Ketua Ombudsman). Sesi pertama ini sebenarnya agak berat,
karena harus menyimak UU yang menjadi fokus pembicaraan. Pembahasaan pertama
dibuka dengan “Bagaimana Peranan UU Nomor 24 Tahun 2009 hingga saat”. Jujur saya pribadi merasa tertegun dan geleng-geleng kepala dengan penerapan UU ini,
apalagi dengan pembuat kebijakannya. Ketua Ombudsman menyampaikan
banyak penerapan yang sangat buruk dan belum menjadi kebanggaan penutur dalam
menggunakan bahasa Indonesia yang utuh. Kemudian, pemerintah dalam hal ini
pembuat kebijakaan harus lebih bekerja keras dalam penerapan UU ini. Bahkan
sampai-sampai Ceu Popong (sapaan akrabnya) bilang:
Disiplin dari beliau tidak hanya mematuhi peraturan yang berlaku saja, tetapi disiplin dalam berbahasa juga."Jangan sampai bermimpi bangsa ini ingin maju, kalau rakyat dan pemerintahnya tidak disiplin!"
Menariknya, UU Nomor 24 Tahun 2009 memiliki sisi historis yang sangat panjang. Disampaikan oleh Prof. Dendy, UU ini bahkan sudah melalui proses sejak Sumpah Pemuda dibacakan, mulai dirumuskan tahun 1978, pihak Badan Bahasa beserta pemerintah terkait berpikir bagaimana negara kita punya satu undang-undang untuk memperkuat bahasa negara kita, sampai tahun 2005 Undang-Undang ini benar digodok, dan terbit tahun 2009. Dari Prof. Gufran menyampaikan ada empat polusi bahasa yaitu: pertama, menduakan bahasa sendiri dan menjadi gejala kebahasaan; kedua, masyarakat sekarang selalu bernada ketus di media sosial; ketiga, diskusi dua kubu yang tidak ada habisnya; keempat, nalar berpikir hanya membenarkan dan mengklaim diri sendiri benar.
Undang-Undang ini sebenarnya mengarah
kepada pengutamaan bahasa Indonesia dan tidak ada sedikit pun antibahasa asing.
Kalau misalkan dibuat tingkatan/piramid, bahasa Indonesia yang paling atas,
lalu bahasa daerah di bawahnya, dan terakhir di posisi bawah ada bahasa asing.
Namun sayangnya, masih banyak pihak yang kontra dengan UU ini. Ya, diakui
memang susah untuk menerapkannya terlebih lagi di ruang publik yang sukanya
dinamain bahasa Inggris teroooos, biar keren atau kesannya NiLai JuAl dAn HaRga
TinGgi, padahal mah b aja kalau kata generasi Z. Benar yang disampaikan
Ceu Popong, paling sulit adalah menyamakan persepsi. Dan lagi-lagi kembali ke
istilah baheula, Undang-Undang dibuat untuk dilanggar.
Pembahasan kedua dari sesi pertama ini
adalah bagaimana dengan Perpres terbitan baru, Perpres Nomor 63 Tahun 2019.
Nah, ini nih, ini nih yang paling saya tunggu banget, karena dari yang gua baca
sebelumnya, perpres ini lebih menguatkan bahasa Indonesia lagi. Sampe gelojotan
sendiri, ha-ha-ha. Dari Prof. Amzulian Rifai juga menyampaikan, tantangan
terbesar untuk memasyarakatkan bahasa Indonesia kepada anak muda.
Semua orang bisa jadi pengawal bahasa Indonesia, tidak hanya Badan Bahasa. Masyarakat nantinya bisa berlapor jika melihat suatu hal “kurang” bahasa Indonesia di ruang publik. Balik lagi ke Perpres Nomor 63 Tahun 2019, apakah sanksi diperlukan? Pertanyaan ini pun membuat gua dan peserta ikut berpikir, gimana, ya... Posisi bahasa Indonesia perlu dipertimbangkan oleh pemerintah, warganya juga perlu memperhatikannya, inilah mengapa kompleksnya penggunaan bahasa Indonesia. Bayangkan saja kebahasaan orang kita dari Sabang sampai Merauke, lalu ditambah orang di kota besar seperti di Jakarta yang doyannya nginggris yang seharusnya tidak perlukan karena mereka akan menjadi percontohan untuk orang daerah lainnya di Indonesia. Memang susah dibendung di era globalisasi, tetapi saya yakin tak semua orang kayak gitu. Prof. Gufran kembali menyampaikan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia harus dibongkar supaya tidak tidak membosankan dan harus dilakukan dari alam pikir bawah sadar serta menjadi kebiasaan di tengah masyarakat.
Semua orang bisa jadi pengawal bahasa Indonesia, tidak hanya Badan Bahasa. Masyarakat nantinya bisa berlapor jika melihat suatu hal “kurang” bahasa Indonesia di ruang publik. Balik lagi ke Perpres Nomor 63 Tahun 2019, apakah sanksi diperlukan? Pertanyaan ini pun membuat gua dan peserta ikut berpikir, gimana, ya... Posisi bahasa Indonesia perlu dipertimbangkan oleh pemerintah, warganya juga perlu memperhatikannya, inilah mengapa kompleksnya penggunaan bahasa Indonesia. Bayangkan saja kebahasaan orang kita dari Sabang sampai Merauke, lalu ditambah orang di kota besar seperti di Jakarta yang doyannya nginggris yang seharusnya tidak perlukan karena mereka akan menjadi percontohan untuk orang daerah lainnya di Indonesia. Memang susah dibendung di era globalisasi, tetapi saya yakin tak semua orang kayak gitu. Prof. Gufran kembali menyampaikan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia harus dibongkar supaya tidak tidak membosankan dan harus dilakukan dari alam pikir bawah sadar serta menjadi kebiasaan di tengah masyarakat.
Kembali lagi ke Perpres Nomor 63 Tahun 2019, sebenarnya
terdapat sanksi di dalamnya, tetapi entah mengapa ketika sampai di meja
Menhumhan, sanksi tersebut dipangkas. Dari pihak Badan Bahasa tidak memberikan
alasan kepada kami kenapa alasannya. Sangat disayangkan, saya berharap nasib
penerapannya tidak seperti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009. Menurut saya mentang-mentang Perpres ini isinya tentang bahasa, lantas tidak ada sanksinya. Memang
bahasa itu milik penutur, tetapi kalau pasak hukum sanksinya masih kurang jelas,
maka orang kita cenderung kayak “Bodo amatlah, gak peduli, emang gue pikirin, BeRbAhAsA
KaN yAnG PeNtIng sAmA-SaMa nGeRtI“. Padahal sekarang melihat posisi bahasa,
pemikirannya tidak boleh sesempit itu, apalagi dengan bahasa sendiri. Malu! Sudah banyak orang luar belajar bahasa kita, tapi penuturnya keblinger
sama bahasanya sendiri. Dikasih tahu ejaan benarnya aja pada mencak-mencak gak
jelas, seharusnya tidak boleh begitu sikapnya. Kita sama-sama belajar di sini,
kebahasaan saya pun gak sesempurna Badan Bahasa. Anda membaca tulisan ini pun
bahasanya gak baku-baku amat kan, semibaku lah ya, ha-ha-ha. Alih-alih mikirnya “kok berbahasa
diatur-atur”, seharusnya bisa sama-sama sportif dan saling dukung-mendukung.
Dari Ketua Ombudsman kembali
menyampaikan, tidak cukup berbahasa Indonesia dengan baik dalam pidato saja,
tetapi dalam segala ranah kehidupan. Terlebih lagi aparatur pemerintah yang
punya emban lebih berat. Ceu Popong bercerita kepada kami, saat beliau berkunjung
ke salah satu sekolah internasional di Jakarta, tidak ada satu pun identitas
Indonesia di dalamnya. Tulisan “Selamat datang” bahkan bendera Indonesia pun
tidak ada. Wah, wah, mendengarnya pun saya terkaget. Maksudnya, mereka ini di
Indonesia lho, bukan di negara asalnya. Gak pantes aja kalau mereka gak “Di
mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Setidaknya
simbol Indonesia ada di sana, terjadi pertukaran budaya malah lebih bagus. Makanya,
beliau langsung menyampaikan ke pihak sekolah, agar diadakan simbol negara kita
di dalamnya.
Kembali diingatkan kepada kami, masyarakat harus sadar jika
tetap menggunakan bahasa asing dalam kehidupan sehari-hari, agar bahasa
Indonesia tetap terjaga. Orang tua diharapkan jangan hanya terhangut dengan sejarah
melulu, bangunlah! Zaman sekarang sudah berbeda. Orang tua boleh saja berbangga
dirinya mampu berbahasa dengan baik, karena dahulu diajarkan bahasa dengan
keras. Namun, jika cara tersebut kembali diajarkan untuk anak sekarang,
cenderung membosankan. Sama seperti yang disampaikan di atas, harus dibongkar
cara mengajarnya. Di pihak lain, kemauan politik pemerintahan dalam ranah
bahasa harus ada. Untuk menerbitkan sanksi tak harus dalam penjara, tetapi bisa
dipikirkan lagi. Dalam Perpres tersebut tidak terdapat sanksi, melainkan
pengawasan dari pihak pemerintah daerah, dari situlah sanksi nanti akan dibuat.
Sebelumnya disebutkan tentang cara
pembelajaran bahasa yang harus diubah. Prof. Dendy Sugono juga berpesan,
Dari membaca tersebut, maka seseorang (mau anak-anak atau orang dewasa) dapat belajar memahami bahasanya sendiri dan akhirnya tahu siapa jati diri bangsa kita. Lalu, belajar bahasa Indonesia tidak melulu belajar kaidah, struktur tata bahasa, PUEBI saja, tetapi diajarkan pula sejarah bahasa Indonesia. Mengingat sejarah bahasa kita sangatlah unik."Ubahlah paradigma masyarakat dalam belajar bahasa dengan membongkar cara belajarnya dengan banyak membaca novel dan karya sastra lainnya."
Terakhir menuju sesi isama (istirahat, salat,
makan), beliau juga menyampaikan apa saja tugas Badan Badan, salah satu adalah
mengingat pemerintah agar aturan-aturan kebahasaan tidak hanya sebatas kertas
di negaranya sendiri. Badan Bahasa butuh bantuan dari semua pihak, pemerintah,
perusahaan, sampai rakyat biasa. Bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa,
bukan sekadar alat komunikasi belaka yang penting asal ngerti.
Sebelum lanjut ke sesi kedua, ada sedikit pemaparan dari Kepala Badan Bahasa, Prof. Dadang Sunendar. Beliau menyampaikan tentang penerapan Perpres Nomor 63 Tahun 2019 dirasa susah untuk orang berkecimpung di dunia ekonomi. Untuk jenama (brand) dari awalnya dari luar negeri memang gak bisa diubah, tetapi pengutamaan bahasa Indonesia harus dilakukan dan dikuatkan di dalamnya. Kemudian, sepak terjang KBBI Daring.
Dilanjut ke sesi kedua bincang-bincang dengan pembicara Yayasan Suluh Insan Lestari, Joey Lovestrand dan sastrawan terkenal, Ahmad Fuadi, serta dimoderati oleh Bu Ni Luh Anik Mayani. Pada sesi ini membahas tentang bahasa Kodhi yang ditetili oleh Yayasan tersebut, mulai ortografinya sampai pembelajaran bahasa di wilayahnya. Kemudian, dilanjut lagi oleh Ahmad Fuadi. Beliau sempat menyinggung sedikit tentang Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 yang seperti anjuran dan belum ada kewajiban, lalu kurangnya pengawasan dan teguran. Terakhir ditutup dengan pembahasan sastra, ternyata saya baru tahu kalau novelnya jadi salah satu rekomendasi literasi sastra di sekolah. Keren!
Foto sesi kedua bincang-bincang. Dari kiri ke kanan: Bu Ni Luh Anik Mayan (Ketua Masyarakat Linguistik Indonesia), Joey Lovestrand (Yayasan Suluh Insani Lestari), Ahmad Fuadi (Sastrawan) |
Dilanjut ke sesi kedua bincang-bincang dengan pembicara Yayasan Suluh Insan Lestari, Joey Lovestrand dan sastrawan terkenal, Ahmad Fuadi, serta dimoderati oleh Bu Ni Luh Anik Mayani. Pada sesi ini membahas tentang bahasa Kodhi yang ditetili oleh Yayasan tersebut, mulai ortografinya sampai pembelajaran bahasa di wilayahnya. Kemudian, dilanjut lagi oleh Ahmad Fuadi. Beliau sempat menyinggung sedikit tentang Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 yang seperti anjuran dan belum ada kewajiban, lalu kurangnya pengawasan dan teguran. Terakhir ditutup dengan pembahasan sastra, ternyata saya baru tahu kalau novelnya jadi salah satu rekomendasi literasi sastra di sekolah. Keren!
Ya, begitulah sekiranya yang bisa disampaikan. Dengan ini, saya anggap sebagai laporan khusus dari Tim Kelindan. Tim
Kelindan dipimpin, diredaksikan, dihimpun, disahkan oleh diri saya sendiri. Sekian dari
laporan kami. Kami mengharapkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009
dan Perpres Nomor 63 Tahun 2019 bisa memperkuat pancang/patokan/tolok
bahasa Indonesia. Semoga ke depannya bahasa
Indonesia mampu berjaya di negara kita sendiri. Ingat, utamakan bahasa Indonesia,
lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing. Tabik!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar