Kamis, 14 November 2019

Seminar Badan Bahasa: Bincang-Bincang Kebahasaan dalam Perspektif Kebahasaan dan Kesastraan

Tanggal 21 Oktober 2019, hari Senin pagi, saya berangkat ke Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan (lebih sering dikenal Badan Bahasa) dengan sukacitanya, karena saya menjadi salah satu peserta terpilih Seminar Kebahasaan dari instansi saya, Universitas Darma Persada. Badan Bahasa terletak di wilayah Rawamangun, Jakarta Timur. Pada awalnya, saya tebersit hanya coba-coba mendaftar, tetapi KEJUTAN~ Pengelaman pertama dalam hidup mengikuti acara yang hebat ini.

Tampilan Muka Acara

Seminar tersebut bernama “Bincang-Bincang Kebahasaan dalam Perspektif Kebahasaan dan Kesastraan“ dengan tema “Satu Dekade Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 dan Lanskap Kebahasaan Indonesia”. Melihat namanya aja sudah wah banget, cocok dengan saya yang punya minat bahasa-sastra. Ketika sampai di sana, seperti bisa izin terlebih dahulu ke Pak Satpam untuk mengikuti acara ini.
Seminar ini berada di Aula Gedung M. Tabrani, Badan Bahasa. Sebelum memasuki aula, mengisi daftar presensi, diberikanlah kupon untuk kudapan, makan siang, dan sertifikat, serta kudapan pertama.

Ketika masuk ruang aula, tercium aroma yang berbeda daripada biasanya. Kalau Tatami sangat khas dengan aroma kayu, tetapi aula tersebut entah kenapa yang saya rasakan justru mirip nasi yang baru ditanak atau roti yang baru matang dari oven. Kebayang kan, betapa segarnya ruangan itu. Saya memilih tempat duduk keempat dari depan, supaya lebih jelas melihat dan menyimak narasumbernya. Maklum matanya bermiopi.

Deg-degan makin terasa untuk saya yang ambiver ketika duduk sendiri dengan samping-depan-belakang orang yang tidak dikenal. Tapi, saya mencoba santuy dengan kondisi yang kelihatannya banyak dosen, pakar, ahli, guru, politisi, mahasiswa, dan instansi lainnya. Acara dibuka dengan pembukaan, lalu sepatah-dua patah kata dari pihak panitia Badan Bahasa. Acara dimulai dengan pengetukan mikrofon oleh Prof. Gufran Ali Ibrahim, padahal sudah disiapkan gong di samping beliau, ha-ha-ha.

Foto: Acara Pembukaan
Pada sesi bincang-bincang pertama dimoderatori oleh Gadis Bianca Anindhita, salah satu jurnalis dari Metro TV. Kemudian, diisi oleh narasumber yang luar biasa yaitu Pak Dendy Sugono (Kepala Pusat Bahasa 2001—2009), Bu Popong Otje Djundjunan (Ketua DPR RI 2014—2019), Pak Amzulian Rifai (Ketua Ombudsman). Sesi pertama ini sebenarnya agak berat, karena harus menyimak UU yang menjadi fokus pembicaraan. Pembahasaan pertama dibuka dengan “Bagaimana Peranan UU Nomor 24 Tahun 2009 hingga saat”. Jujur saya pribadi merasa tertegun dan geleng-geleng kepala dengan penerapan UU ini, apalagi dengan pembuat kebijakannya. Ketua Ombudsman menyampaikan banyak penerapan yang sangat buruk dan belum menjadi kebanggaan penutur dalam menggunakan bahasa Indonesia yang utuh. Kemudian, pemerintah dalam hal ini pembuat kebijakaan harus lebih bekerja keras dalam penerapan UU ini. Bahkan sampai-sampai Ceu Popong (sapaan akrabnya) bilang:
"Jangan sampai bermimpi bangsa ini ingin maju, kalau rakyat dan pemerintahnya tidak disiplin!"
Disiplin dari beliau tidak hanya mematuhi peraturan yang berlaku saja, tetapi disiplin dalam berbahasa juga.


Foto sesi pertama bincang-bincang. Dari kini ke kanan: Gadis Bianca Anindhita (jurnalis dari Metro TV), Popong Otje Djundjunan (Ketua DPR RI 2014—2019), Amzulian Rifai (Ketua Ombudsman), Dendy Sugono (Kepala Pusat Bahasa 2001—2009), Gufran Ali Ibrahim (Kepala Perlindungan Bahasa dan Sastra)

Menariknya, UU Nomor 24 Tahun 2009 memiliki sisi historis yang sangat panjang. Disampaikan oleh Prof. Dendy, UU ini bahkan sudah melalui proses sejak Sumpah Pemuda dibacakan, mulai dirumuskan tahun 1978, pihak Badan Bahasa beserta pemerintah terkait berpikir bagaimana negara kita punya satu undang-undang untuk memperkuat bahasa negara kita, sampai tahun 2005 Undang-Undang ini benar digodok, dan terbit tahun 2009. Dari Prof. Gufran menyampaikan ada empat polusi bahasa yaitu: pertama, menduakan bahasa sendiri dan menjadi gejala kebahasaan; kedua, masyarakat sekarang selalu bernada ketus di media sosial; ketiga, diskusi dua kubu yang tidak ada habisnya; keempat, nalar berpikir hanya membenarkan dan mengklaim diri sendiri benar.

Undang-Undang ini sebenarnya mengarah kepada pengutamaan bahasa Indonesia dan tidak ada sedikit pun antibahasa asing. Kalau misalkan dibuat tingkatan/piramid, bahasa Indonesia yang paling atas, lalu bahasa daerah di bawahnya, dan terakhir di posisi bawah ada bahasa asing. Namun sayangnya, masih banyak pihak yang kontra dengan UU ini. Ya, diakui memang susah untuk menerapkannya terlebih lagi di ruang publik yang sukanya dinamain bahasa Inggris teroooos, biar keren atau kesannya NiLai JuAl dAn HaRga TinGgi, padahal mah b aja kalau kata generasi Z. Benar yang disampaikan Ceu Popong, paling sulit adalah menyamakan persepsi. Dan lagi-lagi kembali ke istilah baheula, Undang-Undang dibuat untuk dilanggar.

Pembahasan kedua dari sesi pertama ini adalah bagaimana dengan Perpres terbitan baru, Perpres Nomor 63 Tahun 2019. Nah, ini nih, ini nih yang paling saya tunggu banget, karena dari yang gua baca sebelumnya, perpres ini lebih menguatkan bahasa Indonesia lagi. Sampe gelojotan sendiri, ha-ha-ha. Dari Prof. Amzulian Rifai juga menyampaikan, tantangan terbesar untuk memasyarakatkan bahasa Indonesia kepada anak muda.

Semua orang bisa jadi pengawal bahasa Indonesia, tidak hanya Badan Bahasa. Masyarakat nantinya bisa berlapor jika melihat suatu hal “kurang” bahasa Indonesia di ruang publik. Balik lagi ke Perpres Nomor 63 Tahun 2019, apakah sanksi diperlukan? Pertanyaan ini pun membuat gua dan peserta ikut berpikir, gimana, ya... Posisi bahasa Indonesia perlu dipertimbangkan oleh pemerintah, warganya juga perlu memperhatikannya, inilah mengapa kompleksnya penggunaan bahasa Indonesia. Bayangkan saja kebahasaan orang kita dari Sabang sampai Merauke, lalu ditambah orang di kota besar seperti di Jakarta yang doyannya nginggris yang seharusnya tidak perlukan karena mereka akan menjadi percontohan untuk orang daerah lainnya di Indonesia. Memang susah dibendung di era globalisasi, tetapi saya yakin tak semua orang kayak gitu. Prof. Gufran kembali menyampaikan bahwa pembelajaran bahasa Indonesia harus dibongkar supaya tidak tidak membosankan dan harus dilakukan dari alam pikir bawah sadar serta menjadi kebiasaan di tengah masyarakat.


Cuplikan video acara bincang-bincang ini
Kembali lagi ke Perpres Nomor 63 Tahun 2019, sebenarnya terdapat sanksi di dalamnya, tetapi entah mengapa ketika sampai di meja Menhumhan, sanksi tersebut dipangkas. Dari pihak Badan Bahasa tidak memberikan alasan kepada kami kenapa alasannya. Sangat disayangkan, saya berharap nasib penerapannya tidak seperti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009. Menurut saya mentang-mentang Perpres ini isinya tentang bahasa, lantas tidak ada sanksinya. Memang bahasa itu milik penutur, tetapi kalau pasak hukum sanksinya masih kurang jelas, maka orang kita cenderung kayak “Bodo amatlah, gak peduli, emang gue pikirin, BeRbAhAsA KaN yAnG PeNtIng sAmA-SaMa nGeRtI“. Padahal sekarang melihat posisi bahasa, pemikirannya tidak boleh sesempit itu, apalagi dengan bahasa sendiri. Malu! Sudah banyak orang luar belajar bahasa kita, tapi penuturnya keblinger sama bahasanya sendiri. Dikasih tahu ejaan benarnya aja pada mencak-mencak gak jelas, seharusnya tidak boleh begitu sikapnya. Kita sama-sama belajar di sini, kebahasaan saya pun gak sesempurna Badan Bahasa. Anda membaca tulisan ini pun bahasanya gak baku-baku amat kan, semibaku lah ya, ha-ha-ha. Alih-alih mikirnya “kok berbahasa diatur-atur”, seharusnya bisa sama-sama sportif dan saling dukung-mendukung.

Dari Ketua Ombudsman kembali menyampaikan, tidak cukup berbahasa Indonesia dengan baik dalam pidato saja, tetapi dalam segala ranah kehidupan. Terlebih lagi aparatur pemerintah yang punya emban lebih berat. Ceu Popong bercerita kepada kami, saat beliau berkunjung ke salah satu sekolah internasional di Jakarta, tidak ada satu pun identitas Indonesia di dalamnya. Tulisan “Selamat datang” bahkan bendera Indonesia pun tidak ada. Wah, wah, mendengarnya pun saya terkaget. Maksudnya, mereka ini di Indonesia lho, bukan di negara asalnya. Gak pantes aja kalau mereka gak “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Setidaknya simbol Indonesia ada di sana, terjadi pertukaran budaya malah lebih bagus. Makanya, beliau langsung menyampaikan ke pihak sekolah, agar diadakan simbol negara kita di dalamnya.

Kembali diingatkan kepada kami, masyarakat harus sadar jika tetap menggunakan bahasa asing dalam kehidupan sehari-hari, agar bahasa Indonesia tetap terjaga. Orang tua diharapkan jangan hanya terhangut dengan sejarah melulu, bangunlah! Zaman sekarang sudah berbeda. Orang tua boleh saja berbangga dirinya mampu berbahasa dengan baik, karena dahulu diajarkan bahasa dengan keras. Namun, jika cara tersebut kembali diajarkan untuk anak sekarang, cenderung membosankan. Sama seperti yang disampaikan di atas, harus dibongkar cara mengajarnya. Di pihak lain, kemauan politik pemerintahan dalam ranah bahasa harus ada. Untuk menerbitkan sanksi tak harus dalam penjara, tetapi bisa dipikirkan lagi. Dalam Perpres tersebut tidak terdapat sanksi, melainkan pengawasan dari pihak pemerintah daerah, dari situlah sanksi nanti akan dibuat.

Sebelumnya disebutkan tentang cara pembelajaran bahasa yang harus diubah. Prof. Dendy Sugono juga berpesan, 
"Ubahlah paradigma masyarakat dalam belajar bahasa dengan membongkar cara belajarnya dengan banyak membaca novel dan karya sastra lainnya."
Dari membaca tersebut, maka seseorang (mau anak-anak atau orang dewasa) dapat belajar memahami bahasanya sendiri dan akhirnya tahu siapa jati diri bangsa kita. Lalu, belajar bahasa Indonesia tidak melulu belajar kaidah, struktur tata bahasa, PUEBI saja, tetapi diajarkan pula sejarah bahasa Indonesia. Mengingat sejarah bahasa kita sangatlah unik.

Terakhir menuju sesi isama (istirahat, salat, makan), beliau juga menyampaikan apa saja tugas Badan Badan, salah satu adalah mengingat pemerintah agar aturan-aturan kebahasaan tidak hanya sebatas kertas di negaranya sendiri. Badan Bahasa butuh bantuan dari semua pihak, pemerintah, perusahaan, sampai rakyat biasa. Bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa, bukan sekadar alat komunikasi belaka yang penting asal ngerti.


Foto: Dadang Sunendar, Kepala Badan Bahasa
Sebelum lanjut ke sesi kedua, ada sedikit pemaparan dari Kepala Badan Bahasa, Prof. Dadang Sunendar. Beliau menyampaikan tentang penerapan Perpres Nomor 63 Tahun 2019 dirasa susah untuk orang berkecimpung di dunia ekonomi. Untuk jenama (brand) dari awalnya dari luar negeri memang gak bisa diubah, tetapi pengutamaan bahasa Indonesia harus dilakukan dan dikuatkan di dalamnya. Kemudian, sepak terjang KBBI Daring. 


Foto sesi kedua bincang-bincang. Dari kiri ke kanan: Bu Ni Luh Anik Mayan (Ketua Masyarakat Linguistik Indonesia), Joey Lovestrand (Yayasan Suluh Insani Lestari), Ahmad Fuadi (Sastrawan)

Dilanjut ke sesi kedua bincang-bincang dengan pembicara Yayasan Suluh Insan Lestari, Joey Lovestrand dan sastrawan terkenal, Ahmad Fuadi, serta dimoderati oleh Bu Ni Luh Anik Mayani. Pada sesi ini membahas tentang bahasa Kodhi yang ditetili oleh Yayasan tersebut, mulai ortografinya sampai pembelajaran bahasa di wilayahnya. Kemudian, dilanjut lagi oleh Ahmad Fuadi. Beliau sempat menyinggung sedikit tentang Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 yang seperti anjuran dan belum ada kewajiban, lalu kurangnya pengawasan dan teguran. Terakhir ditutup dengan pembahasan sastra, ternyata saya baru tahu kalau novelnya jadi salah satu rekomendasi literasi sastra di sekolah. Keren!


Foto: Ahmad Fuadi (Sastrawan)
Ya, begitulah sekiranya yang bisa disampaikan. Dengan ini, saya anggap sebagai laporan khusus dari Tim Kelindan. Tim Kelindan dipimpin, diredaksikan, dihimpun, disahkan oleh diri saya sendiri. Sekian dari laporan kami. Kami mengharapkan dengan adanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 dan Perpres Nomor 63 Tahun 2019 bisa memperkuat pancang/patokan/tolok bahasa Indonesia. Semoga ke depannya bahasa Indonesia mampu berjaya di negara kita sendiri. Ingat, utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing. Tabik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar